Gagasan

SANTRI NGENGER MASIH ADAKAH?

SANTRI NGENGER MASIH ADAKAH?
oleh: Sodikin

Nyantri pada zaman dahulu ada sebutan dalam bahasa jawa NGENGER.
Nener ke kiyai atau yang dianggap berilmu.
Santri tersebut tinggal di pondok pak Kyai untuk ngaji dan sekaligus khidmat atau bantu bantu.
Dan mereka rela apapun juga yang di minta pondok seperti bekerja di sawah, ladang dan lain lain.
sebagai timbal balik mereka tidak membayar apa apa alias gratis.

Itulah kesungguhan, kesungguhan dalam upaya mendapat kan ilmu dan menjadi orang yang lebih baik.
Setelah pulang dari pondok diharapkan bisa menjadi bagian pendakwah yang mulia dan dimuliakan.
Nah saat ini konsep tersebut sudah jarang, pesantren sudah menjelma dengan manajemen modern. Pondok pesantren bergeser ke arah manajemen pendidikan formal, ada SD, SMP, SMA dll.
Sehingga santri harus membayar biaya pendidikan, sehingga kesungguhan atau mujahadah dalam menuntut ilmu serta berkhidmat kepada kiyai atau ustadz berkurang. Khan sudah bayar…

Tidak semua memang, sebab masih ada pesantren yang ia tidak menentukan bayaran yg mahal atas bahkan ada juga yang gratis. Sebut saja seperti pesantren yang santrinya adalah dari masyarakat tidak mampu, yatim dan duafa.

Namun terkadang secara tidak langsung disadari atau tidak istilah yatim piatu dan duafa ini kadang lebih dominan jadi “eksploitasi” kedermawanan untuk para donatur. Tidak 100% salah memang karena kenyataanya memang pondok tersebut membutuhkan operasional dan juga nyata adanya anak anak yatim dan duafa. Namun jika kembali melihat perjalanan pesantren zaman dulu terdapat konsep timbal balik antara santri dan kiyai /pengelola Pesantren.

Apa itu?
Santri khidmat ke pesantren dan pesantren memberi ilmu dan menggratiskan santrinya.
Dari sinilah ada tantangan besar bagi pesantren yaitu dapat memberikan lapangan pekerjaan sebagai sarana khidmat untuk santri. Pentingnya pesantren mendidik kemandirian dan enterpreneur bagi santri agar kelak santri dapat menjadi pribadi yang mandiri. Menjadi pendakwah yang ia bisa melayani ummat bukan membebani.
Santri bekerja bukanlah eksploitasi sebab santri harus diajarkan kehidupan nyata di masyarakat. Lantas bagaimana nanti dengan target akademik dan materi pelajaran atau hafalan??
Disinilah pentingnya menentukan arah kurikulum pembelajaran pesantren sejak awal, kemanakah mereka akan dibentuk dan sebagai apa.

Tulisan ini sekedar bagian muhasabah atau pengingat diri agar pesantren alam sabilul huda dapat menjadi bagian solusi. Sebagai pesantren yang mandiri dan memandirikan, berdaya dan memberdayakan, sejahtera dan mensejaterakan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tiktok